Sejarah Desa

Soma sesungguhnya adalah nama lain dari sebuah Desa di Kecamatan Makian yang biasa di sebut Soma. Dikatakan demikian karena pada awalnya sebagian besar dari penduduk desa Soma berasal dari Soma. Mereka hijrah secara besar-besaran dari Makian (Soma) ke daerah Teluk Kao (sekarang kecamatan Malifut) atas dasar kebijakan transmigrasi lokal atau “migrasi bedol” pada tahun 1975 oleh pemerintah daerah tingkat II Maluku Utara Provinsi Maluku bekerja sama dengan Departemen Sosial RI.

Secara umum program trasmigrasi lokal ini berlaku bagi seluruh penduduk yang mendiami Pulau Makian (sekarang masuk wilayah Halmahera Selatan) yang waktu itu terdiri dari 16 desa. Pemindahan Masyarakat Makian termasuk di dalamnya desa Soma ini harus dilakukan pemerintah karena beberapa alasan; diantara alasan yang paling bisa dipertanggung jawabkan adalah bahwa gunung kie besi yang saat itu di tempati oleh masyarakat Makian tidak lagi aman untuk dijadikan tempat bermukim bagi penduduknya. Hal ini disebabkan oleh aktifitas gunung berapi yang semakin hari kian meningkat aktifitasnya. Berdasarkan prediksi dari Direktorat Vulkanologi Bandung bahwa gunung kie besi akan meletus antara Tahun 1975 – 1983. Hasil kajian Departemen Vulkanologi Bandung ini tentunya menjadi catatan penting bagi Pemerintah Daerah Tingkat II Maluku Utara karena gunung kie besi adalah gunung berapi aktif yang sewaktu-waktu bisa meletus dan mengeluarkan larva panas yang berbahaya bagi mahluk hidup termasuk manusia.

Dalam sejarahnya gunung kie besi setidaknya telah mengalami 10 kali letusan sejak tahun 1550 hingga saat ini dengan  masa istirahat panjang sekitar 90 tahun, menengah 25 tahun dan pendek 1 tahun. Dalam kurun waktu itu letusan gunung kie besi tercatat telah memakan korban ±5000 jiwa. Verbeek (1908) dalam tulisannya menjelaskan bahwa letusan besar gunung kie besi terjadi pada tahun 1646, 1760, 1861, 1864, 1890, dan terakhir terjadi pada tahun 1988.

Alasan diatas kiranya menjadi dasar pemerintah untuk memberlakukan kebijakan transmigrasi lokal. Kebijakan ini tidak hanya memindahkan masyarakatnya, lebih dari itu juga turut memindahkan perangkat pemerintahannya. Sehingga Pulau Makian termasuk desa Soma dinyatakan tertutup untuk umum. Meski berat untuk meninggalkan tanah leluhur, namun secara terpaksa hal ini harus dilakukan dalam rangka menyelamatkan generasi mendatang dari bahaya gunung meletus.

Pada Tahun 1975 ketua kelompok atas nama Saban Din beserta masyaraka Makian sudah berada di Malifut dan pada tahun 1979 bersama masyarakat Soma pindah dari pulau Makian ke Malifut secara bertahap. Pada tahap pertama terdapat ± 10 Jiwa dan sekitar 10 kepala keluarga, di mana bapak Saban Din bertindak sebagai ketua rombongan. Setelah kurang lebih dua bulan menetap di teluk Kao, ketua kelompok (Saban Din) diajak oleh muspika kecamatan Makian untuk kembali ke pulau Makian dalam rangka mengajak masyarakat yang masih menetap di pulau Makian untuk hijrah bersama-sama keluarga mereka yang telah lebih dulu menempati wilayah teluk Kao. Ketua kelompok bapak Saban Din berhasil membujuk warga Soma kurang lebih 10 kepala keluarga untuk ikut hijrah ke wilayah teluk Kao. Pada tahap kedua tepatnya pada tahun 1979 terdapat ± 9 kepala keluaraga yang datang.

Seiring dengan bertambahnya penduduk yang hijrah dari Desa Soma pulau Makian ke lokasi yang dipersiapkan pemerintah daerah untuk menjadi desa baru yang ada di teluk Kao ini maka pemerintah daerah mengangkat bapak Saban Din yang semula adalah ketua kelompok menjadi karateker kepala Desa yang diberi nama Soma pada tahun 1979. Pada Tahun 1982 masyarakat Soma memilih bapak Saban Din sebagai kepala desa dan secara devinitif pemerintah memberikan kepercayaan kepada beliau. Inilah awal bagi masyarakat Soma menjalankan hidupnya di daratan teluk Kao (Malifut) sebagai sebuah desa yang resmi.

Di tempat yang baru ini masyarakat desa Soma hidup berdampingan dengan saudara-saudara mereka di desa lain yang berasal dari pulau Makian dan suku Pagu yang merupakan penduduk pribumi. Proses interaksi yang sedemikian baiknya terjalin antara masyarakat Soma dan suku Pagu (Sosol) ini akhirnya melahirkan sebuah praktek sosial yang menjadi perekat bagi mereka yakni “sobat”. Ini adalah modal sosial yang paling berharga bagi masyarakat yang berasal dari dua etnis yang berbeda.

Hubungan masyarakat Soma yang terbina sedemikian baiknya dengan suku Pagu mendapat ujian yang berat dikala terbitnya PP nomor 42 tahun 1999 tentang pembentukan dan penataan beberapa kecamatan di wilayah kabupaten daerah tingkat II Maluku Utara dalam wilayah provinsi daerah tingkat I Maluku. Ada 5 desa (Sosol, Wangeotak, Balisosang, Gayok dan Tabobo) yang secara admistratif masuk dalam wilayah kecamatan Kao dan 6 desa (Bobaneigo, Tetewang, Gamsungi, Akelamo, Pasir Putih & Dum-Dum) yang dahulunya masuk kecamatan Jailolo, secara resmi harus masuk dalam wilayah kecamatan Makian Malifut berdasarkan isyarat PP nomor 42 tahun 1999. Keluarnya PP 42 sebagai produk kebijakan pemerintah sepertinya mendapat tanggapan positif dari masyarakat pendatang termasuk desa Soma di satu sisi dan di sisi yang lain masyarakat pribumi suku Pagu memberi tangapan sebaliknya. Polemik yang muncul akibat hadirnya PP 42 secara tidak langsung telah menanam benih-benih konflik diantara dua komunitas ini. Setelah perbedaan ini telah tersusupi oleh kepentingan pihak lain maka terjadilah konflik horizontal yang bernuansa SARA pada tanggal 19 Agustus tahun 1999. Konflik horizontal yang melibatkan dua komunitas ini telah menyebabkan hancurnya semua bangunan sosial dan bangunan fisik yang telah dibangun sedemikan lamanya sehingga wajah teluk Kao berubah 900. Dari daerah yang terang berubah menjadi gelap-gulita, dari yang bersih menjadi kotor, dari yang baik menjadi buruk dan seterusnya.

Desa Soma yang susah payah dibangun sejak tahun 1975 akhirnya rata dengan tanah bersamaan dengan semua desa yang ada di Kecamatan Makian Malifut (sekarang Malifut). Akibatnya semua penduduk atau masyarakat yang hidup di daratan Malifut terpaksa harus mengungsi ke wilayah lain yang lebih aman.

Beruntung sejak tahun 2001 Pemerintah Provinsi Maluku Utara berkomitmen untuk memulangkan pengungsi yang sempat pergi meninggalkan tanah Malifut. Keinginan pemerintah tidak akan berjalan mulus kalau saja tidak mendapatkan dukungan kuat dari Masyarakat. Dengan komitmen yang kuat dari kurang lebih 10 kepala keluarga dibawah pimpinan bapak Saban Din sehingga Soma kembali bertahan sebagai desa resmi yang ada di kecamatan Malifut. Kembalinya masyarakat Makian termasuk Soma ke Malifut menjadi awal  bagi pembangunan Kecamatan yang baru dan Desa Soma yang baru pula.